Langsung ke konten utama

KOLING INDONESIA, KOPI PREMIUM DI KAKILIMA

Dayu Pratama dengan gerobak Koling













Sejak kuliah di Universitas Sanata Yogyakarta, Dayu Pratama sudah aktif dalam berbagai kegiatan pendampingan masyarakat. Salah satunya adalah mendampingi petani kopi. Basis sebagai LSM ini, membuat Dayu tak hanya mampu menangkap psikologis para petani kopi, tetapi juga membuatnya memiliki jaringan yang kuat. Di saat yang bersamaan, tinggal di Yogyakarta, Dayu melihat kuatnya kaki lima di kota gudeg ini. “Kalau kita bicara jalan Malioboro, maka di sana adalah kaki lima,” katanya.


Tapi, kakilima itu kan identik dengan amburadul dan seadannya. Hal itulah yang mencetuskan ide, bagaimana menghadirkan kopi jalanan, tapi dengan kopi premium dari kebun-kebun petani yang ia dampingi selama ini dan dikemas dengan menarik.

Dengan merogoh kocek sebesar Rp80.000, tahun 2013 Dayu memulai usahanya dengan membuat gerobak kopinya. Ia memberi nama Koling sebagai brand. Siapakah target marketnya? Tentu saja penikmat kopi, yang ia targetkan sebetulnya lebih ke segmen di atas penjual kopi sachet-an keliling yang bersepeda itu. “Sebetulnya uang itu hanya untuk membuat gerobak yang bayunya pun juga bekas. Untuk alat-alat pembuatan kopi sudah saya ‘tabung’ sejak saya masih mahasiswa karena saya rajin mengikuti lomba-lomba atau proposal penelitian yang memberi hadiah uang untuk dibelikan alat-alat pembuatan kopi,” katanya.

Pemilihan tempat gerobak pun benar-benar disesuikan dengan filosofi masyarakat setempat, yaitu di Tugu dan Alun-Alun Kidul. “Ada di dua tempat itu sebagai simbol saya sudah menadahi semua rezeki yang turun,” ujar Dayu, disambung senyum. Alun-Alun Kidul yang tak jauh dari Pantai Selatan melambangkan, Dayu sudah menyaring rezeki bahkan hingga tepi laut.

Tentu saja, tiap usaha punya lika-likunya. Karena usaha kaki lima, berhubungan dengan preman atau satpol PP juga menjadi masalah harian. Namun, Dayu yang dasarnya memang supel dan terbiasa berhubungan banyak orang bisa mengatasi hal-hal tersebut. Dengan harga kopi hitam seharga Rp3.000 dan kopi susu Rp5.000 Koling berkembang pesat.

Selain gerobak yang menarik, cup yang kami gunakan juga berbeda yaitu ukuran yang lebih kecil dari cup pada umumnya. Ini kan branding yang baik, kita memberikan sesuatu yang berbeda dari yang lain. Selain itu juga, minum kopi kan sebetulnya tidak mau banyak-banyak juga. Apalagi kopi hitam. Margin umum di bisnis makanan itu rata-rata 60 persen, tapi kami bisa lebih karena saya membeli langsung kopi dari petaninya.

Tercatat ia memiliki jaringan dengan 18 kelompok petani kopi di Indonesia. Berbeda dengan pemilik brandkopi lain yang membeli dari pengepul. Apalagi, dengan kolaborasi dengan temannya, ia bisa mendapatkan tempat-tempat yang strategis. “Kami desain gerobak dengan sangat baik, ada storage hingga penerangan yang baik. Bahkan kami juga membuat aroma kopi tercium hingga beberapa meter,” katanya. Dari dua gerobak, lalu 5, 10, 15 hingga puluhan gerobak bisa ia buka.


Devina Stefanie, co founder Koling Indonesia
Foto: Yos


Tantangan: 


Namun, dalam bisnis selalu ada hal-hal tak terduga. Dayu yang kemudian berkenalan dengan Devina Stefani, yang juga sudah memiliki brand Yellow Truck, yang tergabung dalam group Kaffeine Inc. , kemudian mulai banyak berdiskusi tentang mimpinya untuk bisa mengembangkan bisnis kopinya. Kebetulan, Devina memiliki pengalaman di bidang ini.


Singkat kata, Dayu sepakat bekerjasama dengan Devina untuk memulai lagi dari nol di Jakarta, dengan tetap meneruskan jiwa dari Koling Yogyakarta. Namanya pun mereka daftarkan, Koling Indonesia. Pembagian tugas mereka tetapkan. “Dayu banyak di kebun untuk urusan produksi, saya yang mengembangkan retail,” ujar Devina.

Kekuatan Dayu, selain pengetahuannya tentang kopi, juga kedekatannya dengan masyarakat. Karena itu, ia mengaku sangat bahagia dengan konsep sekarang, bahwa ia lebih banyak melakukan edukasi ke petani kopi. “Meski saya tetap memberikan masukan sana-sini, kok,” ujarnya saat bertemu femina di kantornya, di Gedung Trio Jakarta.

Bekerjasama dengan petani di 18 daerah di antaranya adalah di Bondowoso, Temanggung, Pemalang, Bantaeng (Sulawesi), Lombok Utara, Pekalongan, Papandayan, hingga Ciwidey, perlu pendekatan khusus yang berbeda di setiap daerah. “Petani itu, meski sudah kita buatkan standar dan kurikulum, tetap saja ada usaha untuk memakai cara mereka sendiri-sendiri. Misalnya untuk kopi cherry yang merah semua, ada saja yang di karungnya di tengah-tengah dicampur yang hijau. Lama-lama kami jadi tahu dan mengajarkan cara yang baru, ketika ditimbang, kami buka karungnya dan yang hijau tetap dibeli dengan harga yang berbeda tentu saja,” kata Dayu.

Selain cara kerja yang berbeda-beda, juga kultur mereka berbeda di tiap daerah. Di Bondowoso, mereka malas memetik sehingga kopi banyak yang terbuang percuma. Panen kopi itu ada beberapa tahap, pertama adalah 10 persen, lalu panen raya, lalu 20 persen, dan terakhir adalah 10 persen. Nah, setelah panen raya, mereka malas metik lagi. Padahal, kualitas kopinya masih bagus, karena kualitas yang kurang bagus justru yang panen pertama yang 10 persen itu,” kata Dayu.

Sementara, dia Bantaeng beda lagi. Mereka bahkan sama sekali tidak mau susah-susah metik, dan minta Dayu saja yang memetik, dengan pembagian mereka cukup diberi 40% total hasil panen. “Terbayang kan, dengan tanpa modal misalnya, hanya modal petik, saya bisa dapat kopi. Kalau misal satu lahan dapat 1 ton, 600 kilogram saya dapat dengan gratis, dan cukup membayar yang 400 kilogram saja,” katanya.
Dayu kini juga mengembangkan silabus pendampingan petani kopi bekerjasama dengan Bappenas, dan pemerintah daerah yang concern untuk mengembangkan kopi, mengingat market kopi yang masih terbuka lebar.

Selain memasok ke kafe-kafe, di bagian retail kaki lima, Devina yang bertanggung jawab. “Saat ini kami banyak berkolaborasi B to B, misalnya dengan PBNU dalam program santripreneur yang direncanakan ada 1000 gerobak, dengan Yenny Wahid yang membuat 30 gerobak di Jawa Timur seperti di Ngawi, Jember, Sumenep, juga Bojonegoro, dan juga memasok gerobak dengan Muhamadiyah,” jelas Devina.

Dalam kerjasama seperti ini, Koling Indonesia menyediakan gerobak, kopi, termasuk men-training SDM. Dan dalam hal training ini, Dayu banyak berperan mengingat pengalamannya mengembangkan usahanya dulu di Yogyakarta. “Sebetulnya susah juga membuat orang mau turun ke kakilima, karena ada anggapan yang tidak keren,” kata Dayu. Padahal, kalau ditekuni, sungguh luar biasa perputaran uang di kaki lima kita ini.
Koling Indonesia saja misalnya, dengan workshop pengolahan kopi yang berada di Yogyakarta, kini sudah puluhan ton kopi yang diserap tiap bulannya.

Lalu, apakah Koling Indonesia masih memiliki gerobak yang dimiliki sendiri, seperti halnya Koling dulu di Yogya? “Masih. Di Jakarta, kami baru punya 1 gerobak di dekat stasiun Tanah Abang. Kami saat ini sedang survey tempat dan dalam 2 atau 3 bulan ke depan terus membuka lagi. Saat ini sedang tahap mempelajari, siapakah ‘penguasa’ tempat tersebut, karena kami ingin membuka di stasiun-stasiun yang memang selalu ramai,” ujar Devina.
Lalu bagaimana perkembangan Koling Indonesia sekarang? “ Di Jakarta, kami baru punya 1 gerobak di dekat stasiun Tanah Abang. Kami saat ini sedang survey tempat dan dalam 2 atau 3 bulan ke depan terus membuka lagi. Saat ini sedang tahap mempelajari, siapakah ‘penguasa’ tempat tersebut, karena kami ingin membuka di stasiun-stasiun yang memang selalu ramai,” ujar Devina.

Koling Indonesia juga membuka untuk kemitraan atau kolaborasi, bagi teman-teman pecinta kopi yang memiliki visi dan misi yang sama dapat berdiskusi, yaitu bagi teman-teman yang ingin memajukkan atas apreasiasi kopi Indonesia ke semua lapisan masyarakat. 
  
Tip Dari Dayu dan Devina:



1/ Jangan menganggap remeh retail kaki lima. Jangan gengsi berjualan di gerobak.
2/ Tapi saat membuka kakilima, jangan hanya punya satu karena ketika tidak laku atau sepi, maka akan frustasi dan langsung patah arang. Minimal punya 2 atau 3, untuk pembanding. Kalau yang di sini sepi, di tempat lain kan bisa ramai.




*tulisan ini sudah di muat www.wanitawirausaha.com
https://www.wanitawirausaha.com/article/koling-indonesia-kopi-premium-di-kakilima

Komentar

Postingan populer dari blog ini

6 Pertanyaan Sebelum Memulai Usaha

Ide lahir dari sebuah pemikiran, dan pemikirran itu lahir dari informasi yang kita dapat melalui cerita dan pengalaman orang lain, yang muncul tiba-tiba atau bisa kapan pun. Namun terkadang, ide itu hanya sebuah pemikiran dan kita dipaksa untuk memutar otak untuk menemukan ide penunjangnya yang nantinya ide besar itupun terlaksana dan menjadi sebuah usaha berkelanjutan.   Jika pada sebuah perjalanan kita tidak menemukan sebuah ide-ide yang berkelanjutan tersebut namun kita ingin memulai sebuah usaha maka berikut tip pertanyaan yang mampu menjadi sebuah pemicu otak untuk berpikir dan menemukan ide dan gagasan yang cemerlang.   1.       Adakah m asalah yang butuh solusi? Dimulai dari sebuah pertanyaan atau sebuah cerita dan pengalaman seseorang yang menceritakan sebuah masalah yang membutuhkan ide atau gagasan baru. Nah, nantinya masalah itu menjadi sebuah alat pemicu untuk menemukan ide usaha baru. Terkadang banyak kawan curhat tentang sesuatu hal yang membutuhkan sol

7 tantangan yang sering terjadi bagi perempuan pengusaha

Ilustrasi wiraswasta. ©2012 Merdeka.com/Shutterstock/leedsn Sebagian besar bisnis dijalankan oleh laki-laki dan menjadi sebuah identitas bahwa bisnis adaah dunianya laki-laki. Namun, akhir-akhir ini sudah banyak pengusaha perempuan juga memasuki dunia laki-laki tersebut dan tak jarang dari mereka pun bisa sukses dan labih unggul daripada laki-laki. Berbagai ide dan gagasan baru muncul untuk melancarkan prosesnya, agar perjalanan sesuai dengan apa yang diharapkan dan dikembangkan oleh perempuan saat memutuskan masuk dalam dunia wirausaha ini. Berikut adalah beberapa tantangan yang dihadapi oleh pengusaha perempuan dalam memulai dan mengembangkan wirausahanya, yaitu : Saat ini, pengusahan perempuan dianggap menentang kodrat atau harapan sosial sebagai sosok perempuan, apabila sukses menjadi seorang pegusaha. Dalam dunia usaha, sikap stereotip terhadapa bisnis yang kompetitif, agresif, dan keras dunia usaha mampu mengubah streotip sosok perempuan, yang halus, lembut,

Hukum Menukar Uang saat Lebaran

P enyedia jasa penukaran uang di tepi jalan kerap kali muncul di akhir Ramadhan. Keberadaan mereka cukup membantu masyarakat yang membutuhkan jasa mereka. Praktik jasa penukaran uang ini menimbulkan polemik di masyarakat. Bahkan, sekelompok orang mengampanyekan bahwa praktik ini merupakan praktik riba yang dinilai lebih berat dosanya daripada zina.